“Iya Sayang. Mmm… perutmu masih kenyang kan?”
“Iya, masih kenyang. Emangnya kenapa?”
“Mama sudah kangen sama gudeg Jogja.”
“Ya ayo kuanter. Dekat hotel ini ada warung gudeg yang murah tapi enak. Di Jogja sih jangan asal - asalan beli gudeg di tempat yang ramai sama turis. Salah - salah bisa ditekuk harganya. Mending kalau enak gudegnya. Yang jualan bukan orang Jogja kok.”
“Iya. Ntar mama mau bersih - bersih dulu. Badan mama penuh keringat nih. Lengket - lengket.”
Aku pun kencing dulu di kloset bekas Mama kencing tadi. Kemudian keluar dari kamar mandi. Mengenakan pakaian kembali. Dan duduk di satu - satunya sofa dalam kamar ini.
Sekilas bayangan masa laluku menggelayuti terawanganku. Tentang segala yang pernah terjadi ketika Papa dan Mama masih tinggal di Sleman. Karena pada saat itu Papa masih bekerja di Jogja.
Tapi setelah Papa dimutasikan ke Jabar, semuanya pindah ke Jabar. Hanya aku yang tetap tinggal di Jogja. Di rumah kos milik Bu Artini itu, karena rumah dinas Papa dihuni oleh keluarga lain setelah Papa dipindahkan ke Jabar.
Tentu saja aku takkan dapat melupakan semuanya itu. Berawal dari dalam rumah kami sendiri. Bahwa aku merupakan anak bungsu dari 4 bersaudara. Ketiga kakakku perempuan semua. Sebut saja Mbak Weni yang tertua, Mbak Rina yang kedua, Mbak Lidya yang ketiga dan aku bernama Bona (disamarkan semua) yang keempat alias anak bungsu.
Beda usia kami hanya setahun - setahun. Lucu ya? Mbak Weni 21 tahun, Mbak Rina 20 tahun, Mbak Lidya 19 tahun dan aku 18 tahun.
Menurut penuturan Mama, sengaja Papa dan Mama “bikin anak” setahun sekali, lalu distop (masuk KB) setelah anaknya 4 orang. Jadi capeknya sekaligus pada waktu kami masih kecil - kecil. Setelah “target”nya terpenuhi (punya anak empat orang), Mama tidak perlu hamil lagi. Cukup dengan mengasuh kami berempat yang perbedaan usianya dekat - dekat ini.
Ketiga kakakku terasa sangat menyangiku sebagai satu - satunya saudara mereka yang cowok. Begitu juga Papa dan Mama selalu memanjakanku. Apa pun yang kuminta, selalu dikasih. Tapi tentu saja permintaanku bukan yang mahal - mahal. Paling juga minta dibeliin sepatu olahraga, minta dibeliin bat pingpong dan bola basket.
Aku dan kakak - kakakku pada kuliah semua, sesuai dengan indoktrinasi dari Papa, bahwa harta itu ada habisnya. Tapi ilmu takkan habis - habis sampai kapan pun.
Aku sendiri kuliah di fakultas pertanian. Karena sejak masih di SMA, aku ingin sekali jadi insinyur pertanian.
Baik Papa mau pun Mama tidak menghalang - halangi pilihanku. Karena semua fakultas itu baik, kata mereka. Begitu pula kakak - kakakku ikut mendukung saja pada pilihanku untuk kuliah di fakultas pertanian.
Di antara kakak - kakakku, Mbak Weni yang paling baik padaku. Dia sering nraktir makan baso, martabak manis, pizza dan sebagainya. Dia memang selalu banyak duit. Tapi aku tidak tahu darimana dia selalu punya duit banyak begitu. Mungkin dari pacarnya atau entah dari mana. Tapi setahuku Mbak Weni tidak punya pacar.
0 Response to "Fantasi Seks Dalam Keluarga Besar Kami 7"
Posting Komentar